selamat datang di blog kami.... semoga bermanfaat.

Selasa, 02 Agustus 2011

Syams Yang Misterius

(Hikmah Ramadan)
Oleh Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Seorang sufi besar yang lahir pada 30 September 1207, Jalaluddin Rumi, dipercaya banyak orang tidak akan pernah menjadi Rumi yang kita kenal sekarang bila ia tidak pernah berjumpa dengan Syamsuddin Tabrisi. Diceritakan, suatu hari, Rumi mengajar di kelas sebagaimana biasanya. Tiba-tiba masuk seorang yang berpenampilan lusuh ke dalam kelas seraya mengajukan pertanyaan, “siapa yang lebih agung: Abu Yazid al-Busthami atau Nabi Muhammad?”

Rumi merasakan ada energi yang menembus jiwa di tatapan sang penanya. Ia menjawab, “Nabi Muhammad lebih agung!” orang tersebut – yang kemudian dikenal sebagai Syams – bertanya lagi, “mengapa Nabi Muhammad? Bukankah Nabi mengatakan, ‘ Kami belum mengenal-Mu sebagaimana Engkau layak dikenal,’ sementara Abu Yazid berseru, ‘Betapa agung kedudukanku; mahasuci dan mahatinggi diriku’?”

Rumi terdiam membisu. Ucapan Syams seakan-akan menunjukkan Abu Yazid lebih agung disbanding Nabi. Melihat Rumi terdiam, Syams memberi tahu bahwa rindu Abu Yazid terhadap Tuhan terpuaskan sesudah meminum seteguk air makrifat, sementara Nabi Muhammad tak pernah terpuaskan, sebab beliau senantiasa haus akan pengetahuan ilahi lebih banyak lagi. Jadi, di sinilah keagungan Nabi Muhammad yang melebihi Abu Yazid.

Penjelasan Syams konon membuat Rumi jatuh, menangis dan tak sadarkan diri. Kita tak tahu apa yang dirasakan oleh Rumi saat itu. Yang jelas, sejak peristiwa itu, Rumi berkhalwat bersama Syams selama tiga bulan. Rumi belajar kembali dari awal tentang makna cinta ilahi.

Kisah di atas menggambarkan betapa Tuhan itu amat dekat dengan kita. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher kita. Meski demikian, pada saat yang sama ada jarak yang tak terhingga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah sangat dekat. Namun, pada saat yang bersamaan, ia sangat jauh.

Ilustrasi berikut mungkin bisa menyederhanakan persoalan … pada saat bertemu dengan kekasih yang sekian lama terpisah, kita akan memeluknya dengan segenap cinta dan rindu, seakan-akan kita dan kekasih kita adalah jiwa yang satu. Namun, pada saat yang sama, kita bukanlah kekasih kita. Kita dan kekasih kita adalah orang yang berbeda.

Di sinilah lahir pengakuan Nabi Muhammad bahwa beliau belum mengenal Allah sebagaimana Allah layak dikenal. Pengakuan ini menunjukkan tidak pernah ada kata akhir dalam mendekati dan mengenal Tuhan. Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa dia telah “bersatu” dengan Tuhan secara utuh dan penuh.

Ketika seseorang mencapai satu kedudukan di sisi Allah, sebenarnya ia baru saja hendak mencapai kedudukan yang lebih tinngi. Tidak ada kedudukan atau stasiun terakhir dalam upaya mendekati Allah. Tidak ada kata final dalam memluk islam!

Pada bulan Ramadan ini kita dekati Allah dengan penuh harap. Kita tundukkan ego. Kita tahan lapar dan dahaga demi meraih ridha-Nya. Kita penuhi malam dengan membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat malam. Dengan itu, boleh jadi “kelas” kita di sisi Allah meningkat.

Selepas bulan Ramadan, saat “pintu-pintu neraka dibuka kembali”, ketika “ikatan iblis telah dilepas kembali”, kala itulah kita menempuh ujian: apakah “kelas” kita akan kembali turun, tetap atau semakin meningkat.

Syams menghilang secara misterius pada 1247. Pertanyaannya di atas mengajarkan bahwa kita sebaiknya tak pernah puas akan amal ibadah kita. Setiap Ramadan, ada amal kita yang meningkat. Ada ego yang ditundukkan. Namun, apakah kita hanya selalu merasa cukup dengan Ramadan dan tidak dengan bulan-bulan lainnya?

Seperti Rumi yang bersedia merajut kembali cinta ilahi dari awal, semoga kita masih bersedia mencari pada Ramadan dan bulan-bulan selainnya. Seperti Nabi Muhammad, semoga kita tak pernah puas meneguk “air ilahi” pada setiap Ramadan; lebih-lebih di luar bulan Ramadan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar