selamat datang di blog kami.... semoga bermanfaat.

Jumat, 12 Agustus 2011

Gelap Gulita yang bertumpuk

Oleh Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Ketika Anda berada di ruangan yang gelap gulita, apa yang bisa Anda lakukan? Tentu saja Anda akan meraba-raba untuk menemukan jalan sambil mengarahkan daya insting Anda. Anda tak tahu jalan untuk keluar, napas Anda sesak dan kegelisahan mulai menyelimuti Anda. Tak ada sebersit cahaya pun yang menyinari tempat Anda berada.

Sekarang bayangkan bila hidup Anda tak disinari oleh cahaya ilahi. Tentu saja Anda pun akan berputar-putar tanpa arah di dalam kegelapan. Atau dalam bahasa Al-Qur’an: Atau seperti gelap gulita di lautan dalam, yang diliputi ombak, yang di atas ombak itu ada ombak lagi, di atasnya lagi awan; gelap gulita yang bertumpuk. Apabila menjulurkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya. Barang siapa yang tak diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun (an-Nur (24) ; 40)
Saat keadaan gelap gulita, jiwa gelisah dan Anda tak tahu apa yang harus Anda kerjakan, beban kerja pun semakin menumpuk, beban ekonomi menghimpit, tuuh Anda bergetar dan semuanya menjadi serba tak teratur dan serba salah. Jika hal ini menimpa Anda, maka carilah cahaya ilahi agar Anda dapat keluar dari kegelapan itu.

Bagaimana caranya mencari cahaya ilahi yang akan menerangi hati Anda?
Allah berfrman: Bersihkanlah pakaianmu! Tinggalkan perbuatan dosa! (al-Mudatstsir (74): 4 – 5)

Mari kita bersihkan pakaian kita. Perhatikan diri kita di cermin, berapa banyak pakaian kesombongan, pakaian riya’, pakaian dengki, dan pakaian takabur yang kita kenakan. Pakaian itu kita percantik dengan segala macam aksesoris: melalaikan Allah, enggan bersedekah, dan sebagainya. Bersihkanlah segala macam pakaian dari berbagai aksesoris tersebut. Setelah itu usahakanlah untuk tak mengenakan pakaian itu selamanya.

Perhatikanlah hari kita. Rasakan cahaya ilahi mulai memasuki relung hati. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki (an-Nur (24): 35)

Mari kita kumpulkan cahaya ilahi itu mulai sekarang. Pada hari kiamat nanti kita berdoa, sebagaimana terekam dalam at-Tahrim (66) ayat ke-8, Ya Tuhan kami! Sempurnakanlah cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Berbahagialah mereka yang mendapat cahaya ilahi.

Ada Sajadah Panjang Terbentang

Oleh Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Lagu Bimbo dengan judul tersebut membuat saya merenung akan hubungan saya dengan Allah. Saya ingin tahu bagaimana posisi saya sebenarnya di sisi Tuhan. Seorang sufi berkata, “Jika Anda ingin mengetahui posisi Anda di sisi Tuhan, lihatlah di mana posisi Tuhan d hati Anda"

Saya pun mencoba melihat ke dalam hati saya. Bisakah saya merasakan Tuhan berada di hati saya? Entahlah. Saya memang bukan seorang sufi. Tapi saya percaya bahwa Tuhan semestinya hadir dalam semua perbuatan saya. Ketika mengerjakan shalat dan berpuasa, saya tahu Tuhan hadir dalam hati saya. Namun ketika beraangkat kerja, saya tak bisa memastikan apakah Tuhan masih saya bawa atau malah tertinggal.

Apakah Tuhan hadir ketika saya disodori uang komisi oleh rekan sekantor? Apakah Tuhan hadir ketika saya selipkan selembar amplop agar urursan saya menjadi lancer? Apakah Tuhan juga hadir ketika saya buat mereka terombang-ambing saat dating ke kantor saya, terlempar dari satu meja ke meja yang lain.

Lagu Bimbo tersebut mengingatkan saya bahwa hidup ini bagaikan sajadah panjang yang terbentang, dari buaian bunda sampai liang lahad. Seharusnya semua aktivitas yang saya lakukan di sajadah panjang ini membawa saya untuk selalu mengingat kehadiran-Nya.

Mengapa Tuhan hanya saya bawa dan saya resapi kehadiran-Nya ketika berada di masjid, dan tiba-tiba hilang ketika saya berada di luar masjid. Lagu Bimbo tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa para khatib Jumat maka sseperti ini, “apa pun aktivitas kita, seharusnya kita selalu ingat keberadaan Allah. Itulah makna dzikrullah; mengingat Allah; itu jugalah makna ibadah.

Kalau saya diperbolehkan menerjemahkan lagu Bimbo itu dengan bahasa Al-Quran, saya teringat satu ayat suci, Tidakkah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (al-Dzariyat(51); 56). Sayang, penafsiran saya akan kata ibadah masih terbatas pada ibadah ritual. Sayang sekali, sajadah saya tak panjang terbentang. Sajadah saya tak mampu masuk ke gedung-gedung pencakar langit, ke pusat perbelanjaan, ke tempat hiburan dank e gedung sekolah.

“Tak kulihat suatu benda, kecuali di ujungnya kulihat ada Tuhan!” Ah, ucapan sufi ini lagi-lagi membuat saya malu. Saya tahu bahwa bukan maksud sufi tersebut untuk mengatakan bahwa dia telah melihat Tuhan, melainkan yang ingin dia ceritakan adalah Tuhan selalu hadir di sekelilingnya.
Ada sajadah panjang terbentang……

Selasa, 02 Agustus 2011

Jangan taqlid (Serial dialog Ujang dengan haji Yunus)

Oleh: Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Bakda sholat dzuhur berjama’ah di masjid jami’, Ujang kehausan. Kakinya lantas melangkah ke warung Mpok Ruqoyah. Ujang memesan es kelapa muda.
Pada saat bersamaan, seorang anak muda yang berjenggot tipis dan memakai celana cungkring duduk di samping Ujang. Sambil tersenyum pada Ujang, anak muda yang bernama Jundi ini bertanya kepada Ujang. “Tadi malam akhi Ujang ikutan ratiban di rumah Haji Yunus ya?”
“Iya, Alhamdulillah saya ikutan bareng-bareng baca ratib al-Haddad bersama Wak Haji,” jawab Ujang sebelum menyeruput es kelapa muda.
“Apa akhi Ujang tahu dalilnya ikut ratiban semacam itu?” Jundi bertanya sambil tersenyum.
“Wah itu sih urusan Wak Haji… kata beliau ini kumpulan doa yang tentu saja ada dalilnya. Lah dalilnya itu apa dan bagaimana ya?.... tolong aja kang Jundi Tanya langsung sama Wak Haji Yunus.”
Ujang nyerocos sambil tangannya mencomot pisang goring di depannya.
“Itu namanya taqlid alias fanatisme buta. Agama melarang kita untuk taqlid semacam itu. bukankah Pak Yunus itu manusia biasa yang bisa salah dan khilaf. Kok akhi Ujang mau saja ikut-ikutan sama beliau. Itu namanya menyembah Pak Yunus. Haram itu hukumnya!” suara Jundi mulai meninggi.
“Wah….. udara udah panas begini, kang Jundi kok malah bikin saya jadi gerah nih.” Ujang mengipas-ngipaskan pecinya kea rah tubuhnya.
“Bukan begitu akhi…. Saya sekedar mengingatkan. Rasulullah telah bersabda. ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu: Kitabullah dan Sunnahku’. Jadi segala persoalan harus berdasarkan kepada Al-Qura’an dan Sunnah. Nggak boleh hanya kata kiai anu atau ulama sana atau Cuma kata Pak Yunus.”
“Bentar kang…..” Ujang mengubah posisi kakinya sambil kemudian mengangkat sedikit kain sarungnya. Ujang kembali meneruskan, “Hadis yang tadi kang Jundi baca itu sahih atau daif?”
“Hadisnya sahih, ya akhi Ujang,”jawab Jundi sambil memegang jenggotnya.
“O, ya? Akang tahu dari mana kalau hadis itu hadisnya sahih?”
“Dari Syekh al-Albany. Beliau ulama besar…. Dalam kitab Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, beliau bilang hadis ini sahih.” Jundi membuka catatannya. “ya, betul akhi…. Ini disebutkan dalam buku Syekh al-Albany juz 4, halaman 330.”
Sambil membetulkan peci hitam yang sudah lusuh, Ujang bertanya lagi;
“Sudah akang periksa argument al-Albany sampai bilang hadis ini sahis? Misalnya dicek ulang gitu semua argument beliau.”
“Belum. Tapi Syekh al-Albany menyebutkan sumber-sumber rujukannya kok.”
“Terus darimana Akang bisa yakin kalau yang dilakukan Syekh al-Albany dalam mengatakan hadis ini sahih itu benar?”
“Loh al-Albany kan ahli hadits, dia punya kualifikasi untuk itu, masak dia bohong?” suara Jundi mulai meninggi. Dalam hatinya dia bilang, “ini orang kok ngeyel banget sih. Susah banget menerima sebuah kebenaran!”
“Ehmmmm…. Akang sudah taqlid dong sama Syekh al-Albany. Yang akang lakukan sama saja dengan kawan-kawan saya tadi malam yang mengikuti Wak Haji Yunus untuk ratiban bareng tanpa mengkaji terlebih dahulu dalil dan argument Wak Haji Yunus. Kami melakukannya karena “percaya” bahwa Haji Yunus itu ahli dalam bidangnya.”
Sambil nyengir meniru gaya James Bond yang ditontonnya di layar tancep, Ujang meneruskan:
“Sama saja dengan saya kalua sakit pergi ke dokter. Apa yang dikatakan dokter saya percaya. Disuruh minum obat A atau B saya ikuti. Soalnya saya “percaya” akan otoritas dokter tersebut. Saya nggak mau bilang begini, ‘Maaf dokter, saya butuh waktu untuk menguji apakah obat yang Anda kasih itu benar atau tidak, saya harus cek dulu argumentasi Anda untuk mengatakan penyakit saya ini A dan bukan penyakit B.”
Muka Jundi memerah. Dia tidak menyangka Ujang yang sarung dan pecinya sudah lusuh dan wajahnya ndeso banget itu dengan telak menohok argumentasi Jundi.
Mpoik ruqoyah, yang dari tadi Cuma mendengarkan sambil menggoreng pisang, tiba-tiba ikutan nimbrung.
“Perasaan ane hadits yang tadi bang Jundi bcakan ada versi lainnya deh. Dulu Wak Haji Yunus udah pernah menjelaskan saat ane ikutan pengajian di rumahnya.”
“Enggak ada Mpok…. Hadisnya ya Cuma ini. Kalau ada versi lain, ya itu daif” jawab Jundi sambil membolak-balik buku catatannya.
“Ah urusan daif apa kagak itu sih urusan orang sekolahan…. Bukan urusan ane… urusan ane sih dagang aja,” Mpok Ruqoyah tertawa sambil membetulkan posisi sandal jepitnya.
“Iya nih, akang masih doyan aja sembarangan mendaifkan hadits.”
“Soalnya kata murabbi saya begitu akhi.”
“Tuh kan …. Ente taqlid lagi,” Ujang kembali nyengir.
“Bukan … ini bukan taqlid. Ini namanya tsiqah pada qiyadah.”
“Ya sama aja dong … intinya kan tunduk dan patuh serta percaya pada pemimpin dan panutan kita. Saya taqlid sama Wak Haji Yunus. Akang Jundi tsiqah sama murabbi. Intinya kan sama saja. Artinya sama-sama baik. Karena Wak Haji Yunus orang baik, dan Murabbi akang juga orang baik. Begitu kang …”
Di saat itu datanglah Haji Yunus sambil mengucapkan salam. Ujang dan Mpok Ruqoyah lantas menceritakan dialog Jundi tersebut. Jundi yang duduknya menjadi gelisah, ditepuk-tepuk bahunya oleh Haji Yunus. “bagus … Bagus … inilah pemuda harapan kita. Selalu bersemangat dalam menjalankan agama Allah ini.”
“Nak Jundi kuliyah di mana?” Tanya Haji Yunus dengan lembut.
“Di universitas Prabu Siliwangi, jurusan akunting. Saya lagi buat skripsi Pak.”
“Oh bagus … bagus … apa saat menulis skripsi itu Nak Jundi mencantumkan footnote yang isinya pendapat para pakar dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pembimbing skripsi?”
“Tentu saja, Pak. Dunia akademik memang seperti itu.”
“Mungkin Nak Jundi belum tahu, itulah tradisi ilmiah dalam islam yang diadopsi oleh dunia intelektual modern saat ini. Tradisi merujuk itu bisa dilacak dalam khazanah islam.” Haji Yunus menjelaskan sambil member kode kepada Mpok Ruqoyah untuk membuatkan kopi.
“Wah jangan-jangan akang Jundi ini taqlid juga sama pembimbing dan para pakr yang dicantumkan dalam footenote skripsinya nih.” Ujang nyeletuk sambil memegang perutnya yang buncit.
Jundi tersenyum masam.
Haji Yunus melotot pada Ujang, tansa beliau kurang suka dengan Ujang yang menggoda Jundi. Laluy beliau meboleh kembali pada Jundi:
“Tadi hadits yang dibacakan Nak Jundi itu bagaimana bunyinya dan bagaimana terjemahnya?” Tanya Haji Yunus.
“Maaf Pak Yunus … saya hanya mencatat dari kumpulan materi pengajian. Kebetulan haditsnya ini sudah diterjemahkan.”
Ujang nyeletuk lagi:
“itu namanya akang bukan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah … tapi kembali ke terjemahan Al-Qur’an dan terjemahan sunnah. Lha yang nerjemahkan itu siapa? Kok akang percaya saja sama terjemahannya. Itu namanya akang taqlid sama terjemahannya. Terjemahan Al-Qur’an dan hadis kan banyak macamnya. Cari aja di-google. Otong yang kawan saya aja bisa. Betul kan, Wak Haji?”
Muka Jundi memerah kembali.
“Iya betul,” kata Haji Yunus, “tapi kamu jangan biasakan memojokkan saudara sendiri seperti itu. kita kan sama-sama belajr,” tegur Haji Yunus kepada Ujang.
“Maaf Wak Haji …” Ujang menundukkan pandangan matanya, sebagai tanda ia menerima teguran Haji Yunus. Lantas mata Ujang melirik ke lantai. Tiba-tiba ia berseru panic.
“Loh Mpok Ruqoyah … kok sandal saya hilang. Tadi kan masih di sini.” Ujang celingukan mencari sandal jepitnya.
“Wah jangan-jangan sandal jepit saya hilang akibat adanya konspirasi Yahudi dan CIA untuk mencuri harta umat Islam nih …” Ujang nyerocos sambil garuk-garuk kepala.
Mpok Ruqoyah langsung nyengir ….” Masak Yahudi sama CIA ngurusi sandal jepit kamu yang jelek itu … Ujang … Ujang … ada-ada aja kamu ini!”
Haji Yunus pura-pura tidak mendengar dan memilih untuk menikmati kopinya. Jundi masih tersenyum kecut sambil melirik catatan pengajian yang berjudul, “Ghazwul fikri antara Yahudi-barat versus umat Islam.”

Syams Yang Misterius

(Hikmah Ramadan)
Oleh Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Seorang sufi besar yang lahir pada 30 September 1207, Jalaluddin Rumi, dipercaya banyak orang tidak akan pernah menjadi Rumi yang kita kenal sekarang bila ia tidak pernah berjumpa dengan Syamsuddin Tabrisi. Diceritakan, suatu hari, Rumi mengajar di kelas sebagaimana biasanya. Tiba-tiba masuk seorang yang berpenampilan lusuh ke dalam kelas seraya mengajukan pertanyaan, “siapa yang lebih agung: Abu Yazid al-Busthami atau Nabi Muhammad?”

Rumi merasakan ada energi yang menembus jiwa di tatapan sang penanya. Ia menjawab, “Nabi Muhammad lebih agung!” orang tersebut – yang kemudian dikenal sebagai Syams – bertanya lagi, “mengapa Nabi Muhammad? Bukankah Nabi mengatakan, ‘ Kami belum mengenal-Mu sebagaimana Engkau layak dikenal,’ sementara Abu Yazid berseru, ‘Betapa agung kedudukanku; mahasuci dan mahatinggi diriku’?”

Rumi terdiam membisu. Ucapan Syams seakan-akan menunjukkan Abu Yazid lebih agung disbanding Nabi. Melihat Rumi terdiam, Syams memberi tahu bahwa rindu Abu Yazid terhadap Tuhan terpuaskan sesudah meminum seteguk air makrifat, sementara Nabi Muhammad tak pernah terpuaskan, sebab beliau senantiasa haus akan pengetahuan ilahi lebih banyak lagi. Jadi, di sinilah keagungan Nabi Muhammad yang melebihi Abu Yazid.

Penjelasan Syams konon membuat Rumi jatuh, menangis dan tak sadarkan diri. Kita tak tahu apa yang dirasakan oleh Rumi saat itu. Yang jelas, sejak peristiwa itu, Rumi berkhalwat bersama Syams selama tiga bulan. Rumi belajar kembali dari awal tentang makna cinta ilahi.

Kisah di atas menggambarkan betapa Tuhan itu amat dekat dengan kita. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher kita. Meski demikian, pada saat yang sama ada jarak yang tak terhingga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah sangat dekat. Namun, pada saat yang bersamaan, ia sangat jauh.

Ilustrasi berikut mungkin bisa menyederhanakan persoalan … pada saat bertemu dengan kekasih yang sekian lama terpisah, kita akan memeluknya dengan segenap cinta dan rindu, seakan-akan kita dan kekasih kita adalah jiwa yang satu. Namun, pada saat yang sama, kita bukanlah kekasih kita. Kita dan kekasih kita adalah orang yang berbeda.

Di sinilah lahir pengakuan Nabi Muhammad bahwa beliau belum mengenal Allah sebagaimana Allah layak dikenal. Pengakuan ini menunjukkan tidak pernah ada kata akhir dalam mendekati dan mengenal Tuhan. Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa dia telah “bersatu” dengan Tuhan secara utuh dan penuh.

Ketika seseorang mencapai satu kedudukan di sisi Allah, sebenarnya ia baru saja hendak mencapai kedudukan yang lebih tinngi. Tidak ada kedudukan atau stasiun terakhir dalam upaya mendekati Allah. Tidak ada kata final dalam memluk islam!

Pada bulan Ramadan ini kita dekati Allah dengan penuh harap. Kita tundukkan ego. Kita tahan lapar dan dahaga demi meraih ridha-Nya. Kita penuhi malam dengan membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat malam. Dengan itu, boleh jadi “kelas” kita di sisi Allah meningkat.

Selepas bulan Ramadan, saat “pintu-pintu neraka dibuka kembali”, ketika “ikatan iblis telah dilepas kembali”, kala itulah kita menempuh ujian: apakah “kelas” kita akan kembali turun, tetap atau semakin meningkat.

Syams menghilang secara misterius pada 1247. Pertanyaannya di atas mengajarkan bahwa kita sebaiknya tak pernah puas akan amal ibadah kita. Setiap Ramadan, ada amal kita yang meningkat. Ada ego yang ditundukkan. Namun, apakah kita hanya selalu merasa cukup dengan Ramadan dan tidak dengan bulan-bulan lainnya?

Seperti Rumi yang bersedia merajut kembali cinta ilahi dari awal, semoga kita masih bersedia mencari pada Ramadan dan bulan-bulan selainnya. Seperti Nabi Muhammad, semoga kita tak pernah puas meneguk “air ilahi” pada setiap Ramadan; lebih-lebih di luar bulan Ramadan.

Rebahkan Dirimu!

(Hikmah Ramadan)
Oleh Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Ramadan. Saat rahmat Allah bertubi-tubi. Salah satu rahmat itu adalah terkabulnya doa-doa. Lihatlah bagaimana Allah menyelipkan sebuah ayat di antara rentetan ayat tentang puasa.

Bukalah Al-Quran, ayat ke- 183 -185 dari surah al-Baqoroh. Kita akan tahu bagaimana Allah mengatur puasa Ramadan. Pada ayat ke-186, pembahasan soal puasa “dipotong’ oleh pembahasan yang sama sekali lain. Baru kemudian pembahasan puasa dilanjutkan di ayat ke-187. Gerangan apa yang membuat Al-Quran terkesan tidak sistematis?

Inilah ayat ke-186, jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, jawablah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan seseorang yang bersoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Ternyata, di antara rentetan ayat tentang puasa, Allah menjelaskan posisi-Nya dengan hamba. Mengapa ayat ini berada di tengah perbincangan soal puasa?
Mahasuci Allah! Rebahkan dirimu! Banyaklah berdoa pada bulan Ramadan. Tuhanmu amat dekat denganmu pada bulan suci ini dan ia telah menjanjikan akan mengabulkan semua permohonanmu.

Setelah Ramadan berlalu, apakah doa-doa kita tetap terkabul? Apakah Allah tetap dekat dengan kita pada selain Ramadan? Lihatlah ayat ke-188, sebagai ayat penutup dari rangkaian ayat puasa: jangan sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil. Dan, janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, dengan berniat memakan sebagian harta itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Saat Ramadan, kita diperintahkan menahan menikmati makanan halal pada waktu tertentu. Di luar Ramadan, kita diperintahkan menahan diri dari harta yang haram. Jika demikian – insya Allah – di dalam dan diluar Ramadan, Allah selalu dekat dan mengabulkan doa-doa kita.