selamat datang di blog kami.... semoga bermanfaat.

Selasa, 02 Agustus 2011

Jangan taqlid (Serial dialog Ujang dengan haji Yunus)

Oleh: Dr. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Mari Bicara Iman

Bakda sholat dzuhur berjama’ah di masjid jami’, Ujang kehausan. Kakinya lantas melangkah ke warung Mpok Ruqoyah. Ujang memesan es kelapa muda.
Pada saat bersamaan, seorang anak muda yang berjenggot tipis dan memakai celana cungkring duduk di samping Ujang. Sambil tersenyum pada Ujang, anak muda yang bernama Jundi ini bertanya kepada Ujang. “Tadi malam akhi Ujang ikutan ratiban di rumah Haji Yunus ya?”
“Iya, Alhamdulillah saya ikutan bareng-bareng baca ratib al-Haddad bersama Wak Haji,” jawab Ujang sebelum menyeruput es kelapa muda.
“Apa akhi Ujang tahu dalilnya ikut ratiban semacam itu?” Jundi bertanya sambil tersenyum.
“Wah itu sih urusan Wak Haji… kata beliau ini kumpulan doa yang tentu saja ada dalilnya. Lah dalilnya itu apa dan bagaimana ya?.... tolong aja kang Jundi Tanya langsung sama Wak Haji Yunus.”
Ujang nyerocos sambil tangannya mencomot pisang goring di depannya.
“Itu namanya taqlid alias fanatisme buta. Agama melarang kita untuk taqlid semacam itu. bukankah Pak Yunus itu manusia biasa yang bisa salah dan khilaf. Kok akhi Ujang mau saja ikut-ikutan sama beliau. Itu namanya menyembah Pak Yunus. Haram itu hukumnya!” suara Jundi mulai meninggi.
“Wah….. udara udah panas begini, kang Jundi kok malah bikin saya jadi gerah nih.” Ujang mengipas-ngipaskan pecinya kea rah tubuhnya.
“Bukan begitu akhi…. Saya sekedar mengingatkan. Rasulullah telah bersabda. ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu: Kitabullah dan Sunnahku’. Jadi segala persoalan harus berdasarkan kepada Al-Qura’an dan Sunnah. Nggak boleh hanya kata kiai anu atau ulama sana atau Cuma kata Pak Yunus.”
“Bentar kang…..” Ujang mengubah posisi kakinya sambil kemudian mengangkat sedikit kain sarungnya. Ujang kembali meneruskan, “Hadis yang tadi kang Jundi baca itu sahih atau daif?”
“Hadisnya sahih, ya akhi Ujang,”jawab Jundi sambil memegang jenggotnya.
“O, ya? Akang tahu dari mana kalau hadis itu hadisnya sahih?”
“Dari Syekh al-Albany. Beliau ulama besar…. Dalam kitab Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, beliau bilang hadis ini sahih.” Jundi membuka catatannya. “ya, betul akhi…. Ini disebutkan dalam buku Syekh al-Albany juz 4, halaman 330.”
Sambil membetulkan peci hitam yang sudah lusuh, Ujang bertanya lagi;
“Sudah akang periksa argument al-Albany sampai bilang hadis ini sahis? Misalnya dicek ulang gitu semua argument beliau.”
“Belum. Tapi Syekh al-Albany menyebutkan sumber-sumber rujukannya kok.”
“Terus darimana Akang bisa yakin kalau yang dilakukan Syekh al-Albany dalam mengatakan hadis ini sahih itu benar?”
“Loh al-Albany kan ahli hadits, dia punya kualifikasi untuk itu, masak dia bohong?” suara Jundi mulai meninggi. Dalam hatinya dia bilang, “ini orang kok ngeyel banget sih. Susah banget menerima sebuah kebenaran!”
“Ehmmmm…. Akang sudah taqlid dong sama Syekh al-Albany. Yang akang lakukan sama saja dengan kawan-kawan saya tadi malam yang mengikuti Wak Haji Yunus untuk ratiban bareng tanpa mengkaji terlebih dahulu dalil dan argument Wak Haji Yunus. Kami melakukannya karena “percaya” bahwa Haji Yunus itu ahli dalam bidangnya.”
Sambil nyengir meniru gaya James Bond yang ditontonnya di layar tancep, Ujang meneruskan:
“Sama saja dengan saya kalua sakit pergi ke dokter. Apa yang dikatakan dokter saya percaya. Disuruh minum obat A atau B saya ikuti. Soalnya saya “percaya” akan otoritas dokter tersebut. Saya nggak mau bilang begini, ‘Maaf dokter, saya butuh waktu untuk menguji apakah obat yang Anda kasih itu benar atau tidak, saya harus cek dulu argumentasi Anda untuk mengatakan penyakit saya ini A dan bukan penyakit B.”
Muka Jundi memerah. Dia tidak menyangka Ujang yang sarung dan pecinya sudah lusuh dan wajahnya ndeso banget itu dengan telak menohok argumentasi Jundi.
Mpoik ruqoyah, yang dari tadi Cuma mendengarkan sambil menggoreng pisang, tiba-tiba ikutan nimbrung.
“Perasaan ane hadits yang tadi bang Jundi bcakan ada versi lainnya deh. Dulu Wak Haji Yunus udah pernah menjelaskan saat ane ikutan pengajian di rumahnya.”
“Enggak ada Mpok…. Hadisnya ya Cuma ini. Kalau ada versi lain, ya itu daif” jawab Jundi sambil membolak-balik buku catatannya.
“Ah urusan daif apa kagak itu sih urusan orang sekolahan…. Bukan urusan ane… urusan ane sih dagang aja,” Mpok Ruqoyah tertawa sambil membetulkan posisi sandal jepitnya.
“Iya nih, akang masih doyan aja sembarangan mendaifkan hadits.”
“Soalnya kata murabbi saya begitu akhi.”
“Tuh kan …. Ente taqlid lagi,” Ujang kembali nyengir.
“Bukan … ini bukan taqlid. Ini namanya tsiqah pada qiyadah.”
“Ya sama aja dong … intinya kan tunduk dan patuh serta percaya pada pemimpin dan panutan kita. Saya taqlid sama Wak Haji Yunus. Akang Jundi tsiqah sama murabbi. Intinya kan sama saja. Artinya sama-sama baik. Karena Wak Haji Yunus orang baik, dan Murabbi akang juga orang baik. Begitu kang …”
Di saat itu datanglah Haji Yunus sambil mengucapkan salam. Ujang dan Mpok Ruqoyah lantas menceritakan dialog Jundi tersebut. Jundi yang duduknya menjadi gelisah, ditepuk-tepuk bahunya oleh Haji Yunus. “bagus … Bagus … inilah pemuda harapan kita. Selalu bersemangat dalam menjalankan agama Allah ini.”
“Nak Jundi kuliyah di mana?” Tanya Haji Yunus dengan lembut.
“Di universitas Prabu Siliwangi, jurusan akunting. Saya lagi buat skripsi Pak.”
“Oh bagus … bagus … apa saat menulis skripsi itu Nak Jundi mencantumkan footnote yang isinya pendapat para pakar dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pembimbing skripsi?”
“Tentu saja, Pak. Dunia akademik memang seperti itu.”
“Mungkin Nak Jundi belum tahu, itulah tradisi ilmiah dalam islam yang diadopsi oleh dunia intelektual modern saat ini. Tradisi merujuk itu bisa dilacak dalam khazanah islam.” Haji Yunus menjelaskan sambil member kode kepada Mpok Ruqoyah untuk membuatkan kopi.
“Wah jangan-jangan akang Jundi ini taqlid juga sama pembimbing dan para pakr yang dicantumkan dalam footenote skripsinya nih.” Ujang nyeletuk sambil memegang perutnya yang buncit.
Jundi tersenyum masam.
Haji Yunus melotot pada Ujang, tansa beliau kurang suka dengan Ujang yang menggoda Jundi. Laluy beliau meboleh kembali pada Jundi:
“Tadi hadits yang dibacakan Nak Jundi itu bagaimana bunyinya dan bagaimana terjemahnya?” Tanya Haji Yunus.
“Maaf Pak Yunus … saya hanya mencatat dari kumpulan materi pengajian. Kebetulan haditsnya ini sudah diterjemahkan.”
Ujang nyeletuk lagi:
“itu namanya akang bukan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah … tapi kembali ke terjemahan Al-Qur’an dan terjemahan sunnah. Lha yang nerjemahkan itu siapa? Kok akang percaya saja sama terjemahannya. Itu namanya akang taqlid sama terjemahannya. Terjemahan Al-Qur’an dan hadis kan banyak macamnya. Cari aja di-google. Otong yang kawan saya aja bisa. Betul kan, Wak Haji?”
Muka Jundi memerah kembali.
“Iya betul,” kata Haji Yunus, “tapi kamu jangan biasakan memojokkan saudara sendiri seperti itu. kita kan sama-sama belajr,” tegur Haji Yunus kepada Ujang.
“Maaf Wak Haji …” Ujang menundukkan pandangan matanya, sebagai tanda ia menerima teguran Haji Yunus. Lantas mata Ujang melirik ke lantai. Tiba-tiba ia berseru panic.
“Loh Mpok Ruqoyah … kok sandal saya hilang. Tadi kan masih di sini.” Ujang celingukan mencari sandal jepitnya.
“Wah jangan-jangan sandal jepit saya hilang akibat adanya konspirasi Yahudi dan CIA untuk mencuri harta umat Islam nih …” Ujang nyerocos sambil garuk-garuk kepala.
Mpok Ruqoyah langsung nyengir ….” Masak Yahudi sama CIA ngurusi sandal jepit kamu yang jelek itu … Ujang … Ujang … ada-ada aja kamu ini!”
Haji Yunus pura-pura tidak mendengar dan memilih untuk menikmati kopinya. Jundi masih tersenyum kecut sambil melirik catatan pengajian yang berjudul, “Ghazwul fikri antara Yahudi-barat versus umat Islam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar